Quote

Pengalaman Tinggal di Kalimantan Tengah – Melestarikan Budaya Melepas Alas Kaki, Mengapa Tidak?

“Coba ditulis, deh Mas. Menarik sekali itu,” begitu kata Ade, saat kami bertiga dengan Ananta, bocah berusia dua tahun putrinya Ade, berkunjung ke Museum Topeng & Wayang Setiadarma di Desa Mas, Ubud. Kalimat Ade itu muncul ketika saya menceritakan bagaimana melepaskan alas kaki menjadi budaya yang menarik perhatian saya saat dulu tinggal di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Tidak hanya di Pangkalan Bun, tetapi di banyak tempat di Kalimantan Tengah sepanjang pengalaman bertugas saya.

Soal melepas alas kaki ini muncul saat kami memasuki ruang pameran dan Ade yang pernah membantu bertugas di sini sebelumnya, melepas alas kakinya dan meletakkannya di luar pintu ruang pameran, bangunan berbentuk rumah joglo berusia seratus tahun lebih itu. Saya pun ikut melepas alas kaki saya, begitu juga Ananta yang dibantu oleh Ade waktu itu. Sambil Ade menjelaskan kumpulan wayang purwa yang berjajar mulai dari sisi kiri dan hingga kanan, saya sempat berpikir soal budaya melepas alas kaki saat memasuki sebuah bangunan. Terlebih setelah itu saya sempat memperhatikan beberapa pengunjung wisatawan asing, ada yang datang berdua atau berombongan tanpa disandingi oleh pemandu wisata, ada beberapa yang diikuti oleh pemandu dari museum ataupun pemandu mereka sendiri, dan reaksinya saat mereka melihat sandal dan sepatu kami berjajar rapi di luar pintu.

Pelatihan di Perpus SMKN 1 Pangkalan Bun, DSW Blog

Dalam banyak kegiatan, kami sering melepaskan alas kaki. Seperti saat kegiatan pelatihan di Ruang Perpustakaan SMKN 1 Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah.

 

Beberapa saya amati, begitu melihat jajaran alas kaki di luar pintu itu, ada yang berhenti sebentar dan terdiam melihat ke alas-alas kaki kami. Namun, beberapa detik kemudian, saat kawan-kawan seperjalanan mereka datang dan berdiskusi sebentar, mereka masuk tanpa ikut melepas alas kaki mereka. Beberapa yang lain, datang bersama kawan dan pemandu wisata lokal, karena kawan dan pemandu wisata lokalnya tidak menaruh perhatian terkait budaya melepas alas kaki ini, mereka pun langsung mengikuti masuk dan berjalan di lantai ruang pameran yang terbuat dari keramik berwarna terang dengan permukaan halus dan berkilau saat ditimpa cahaya lampu yang otomatis menyala saat pengunjung memasuki setiap ruang pameran. Ya, saya sadar, aturan melepas alas kaki ini memang tak nampak di sini.

“Coba bayangin deh, De, dengan kondisi ruang pamerannya yang begini bagus dan jenis lantainya yang mengkilap begini, saat hujan dan ada pengunjung, lantai akan kotor dan terlihat sekali jejak-jejak alas kaki pengunjungnya bila mereka tak melepas alas kakinya,” saya memberikan satu alasan mengapa budaya melepaskan alas kaki perlu diangkat kembali dan dilestarikan. “Selain itu, sebenarnya akan sangat mudah menjaga kebersihan lantainya kalau setiap pengunjung bersedia melepaskan alas kakinya,” saya menambahkan alasan lain lagi. “Ah, aku jadi teringat pengalaman tugas di Pangkalan Bun selama tiga tahun yang lalu, ya De. Budaya melepas alas kaki di sana itu kuat sekali. Gak cuma berlaku saat masuk ke dalam rumah, banyak tempat ternyata membudayakan dan membiasakan hal ini. Bahkan juga kutemui saat masuk ke warung, toko, dan museum pun begitu. Makanya, melihat itu, aku juga sejak awal membudayakan melepas alas kaki di kantorku yang dulu,” saya bercerita sambil kami keluar dari ruang pameran dan memakai alas kaki kami kembali untuk menuju rumah-rumah joglo yang menjadi ruang pameran yang lain.

Rumah Kayu Khas Pangkalan Bun, Kumpai Batu, DSW Blog

Foto sebuah rumah di wilayah Kumpai Batu Atas, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Meskipun berlantai kayu, masyarakat di sana terbudayakan melepaskan alas kaki saat memasuki rumah.

Budaya melepaskan alas kaki sebelum memasuki ruangan, terutama rumah, rasanya memang bukan saja milik masyarakat Kalimantan Tengah. Melihat berbagai macam ukuran, bentuk, dan warna alas kaki berserakan di depan pintu rumah memang hal yang biasa bagi sebagian besar dari kita. Tetapi saat budaya ini diterapkan juga di sebuah toko di Jalan Antasari, kawasan perdagangan padat di Pangkalan Bun, saya mengingat betul bahwa saat itu saya membeli mantel hujan, saya awalnya sungguh terheran-heran. Itu saya alami kala minggu-minggu awal saya tinggal di Pangkalan Bun. Tetapi kemudian menjadi paham dan malah membuat saya kagum. Terlebih, setelah saya memasuki toko-toko yang lain di sana, kemudian makan siang di sebuah warung Soto Banjar yang juga menyajikan nila goreng nikmat di Jalan Ahmad Yani, depan persis Bank Mandiri, yang menjadi favorit kawan-kawan di kantor dan saya, juga saat memasuki ruang pameran benda-benda bersejarah di Istana Kuning, melepas alas kaki adalah hal biasa bagi siapa saja. Kami semua sangat menghormatinya. Meskipun pemilik toko mempersilakan kami tetap memakai sepatu, saya sebagai pelanggan menjadi sangat tahu diri. Melepas alas kaki saya adalah sebagai bentuk penghormatan kepada si pemilik toko. Selain itu, dengan alas lantai karpet ataupun terpal bermotif yang terlihat bersih itu, saya pun jadi sungkan dan tak sampai hati untuk tetap memakai alas kaki saya dan mengotori alas lantai tersebut. Apalagi bila saya tahu kalau alas kaki saya sudah merambah kemana-mana hari itu.

Jadi, saat ditanya pengalaman unik apa saat saya tinggal di Pangkalan Bun, tentu saja salah satunya adalah soal melepas alas kaki ini. “Iya, Mas, bagus itu untuk dituliskan,” Ade kembali mengingatkan saat saya mengakhiri cerita saya. “Supaya kita semua menyadari indahnya budaya ini dan mempunyai kepedulian,” Ade menambahkan sambil berpamitan sebentar untuk mengantarkan Ananta ke toilet yang tak jauh letaknya dari rumah joglo tempat kami melihat koleksi wayang beber dan Kamasan.

Itulah mengapa, saat di Museum Topeng dan Wayang Setiadarma itu, giliran saya yang jadi begitu heran saat beberapa kali melihat pengunjung tak peduli dan tetap memakai alas kaki mereka saat memasuki rumah-rumah joglo ruang pameran berlantai bersih mengkilat itu. Meskipun kami dengan sengaja telah memberikan contoh dengan melepas alas-alas kaki kami dan meletakkannya dengan rapi di bibir pintu masuk. Padahal tak ada salahnya melepas sebentar alas kaki. Tanda menghormati. Karena itulah salah satu budaya kita yang unik dan tetap perlu dilestarikan. Saya pun baru menyadarinya saat saya bertugas di Pangkalan Bun dan ingin ikut melestarikannya. Ah, benar-benar salah satu pengalaman yang paling berkesan dan yang selalu membuat saya ingin kembali ke Pangkalan Bun. Lagi. Satu hari nanti.

(Ditulis untuk diikutsertakan dalam lomba penulisan tentang “Keunikan Kalimantan Tengah” oleh Visit Tanjung Puting Tourism – 2017)