Quote

Pakai Sarung Saat Acara Resmi?! Kenapa Tidak?!

Hari ini saya mencoba melempar pertanyaan yang memang saya sengaja ke grup pertemanan yang rencananya akan mengadakan reuni dalam waktu dekat.

Sesuai info yang saya dengar sebelumnya, ada dress code di sana dimana undangan diminta mengenakan atasan warna putih dan bawahan jeans.

Pertanyaan saya: Daripada jeans, bagaimana kalau yang laki-laki memakai sarung (terserah batik, tenun, atau yang lain). Sedangkan yang perempuan memakai kain atau sarung. Bagus… šŸ‘šŸ½šŸ˜ (berikut emoticon ini)

Jawaban-jawaban yang saya terima ternyata sungguh menarik. Sarung, meski ini adalah bagian budaya dari kita, saat ini dianggap sebuah busana yang kurang dibanggakan. Mengenakan sarung dianggap seperti di sebuah pertunjukan ketoprak, pertunjukan opera tradisonal Jawa. Malah ada yang menambahkan sekalian pakai klompen. Saya dianggap salah kamar. šŸ˜‚ Mengenakan sarung adalah tanda kurang kekinian. Sarung hanya layak dipakai untuk kegiatan keagamaan, misalnya sholat atau ke masjid bagi yang muslim. Pendeknya, produk busana berbentuk sarung ini dianggap kurang pas untuk diangkat dan dikenakan dalam kegiatan resmi. Begitulah kira-kira.

Bagaimana dengan di Bali, Flores? Atau daerah-daerah lain yang saya lihat masih menggunakan sarung sebagai bagian dari busana resminya? Mereka sangat bangga saat mengenakan sarung. Apalagi di Flores. Terutama untuk sarung perempuan. Satu lembar saja bisa berharga satu juta Rupiah lebih. Bahkan bisa sampai 10 juta Rupiah lebih. Kurang bangga apa lagi? Hehe… Apalagi soal motif, sarung tradisional kita dikenal sangat kaya. Berbeda dari ujung barat sampai timur. Kurang bangga apalagi? šŸ˜„

Saat saya berkunjung ke Myanmar, hampir semua orang, perempuan dan bahkan laki-laki, mengenakan sarung tradisional mereka yang dikenal dengan nama longyi (dibaca: longji). Sejak dari airport hingga di jalanan dan penginapan. Saya melihat banyak orang pakai longyi. Mau ke kantor, sekolah, kegiatan resmi maupun tidak, bahkan sehari-hari, mereka terlihat cantik dan gagah dengan longyi.

Bagaimana dengan kita? Kalau bukan kita, siapa lagi? Apa perlu nungguin negara lain ada yang klaim, baru kita repot menggugat tapi tetap dalam kesehariaan menganggap sarung bukanlah bagian karya budaya yang luar biasa dan patut dibanggakan untuk dikenakan?

*ilustrasi: upacara Wewar Huler Wair saat penyambutan peserta Rural Entrepreneurship Flores 2018 tanggal 8 November 2018 di Dusun Botang, Desa Munerana, Kecamatan Hewokloang, Kabupaten Sikka, Flores.

Quote

Melali*] ke Singaraja

Kota Singaraja yang pernah didapuk menjadi ibukota provinsi Bali dan saat ini adalah ibukota Kabupaten Buleleng, dalam bingkai wisata memang identik dengan pantai Lovina. Namun, mungkin tak banyak yang tahu bahwa Singaraja sesungguhnya menyimpan banyak potensi wisata menarik untuk diulik.

Continue reading

Quote

Rahasia Rimba Aketajawe-Lolobata

ā€œKepakan sayap puluhan julang Papua laksana skuadron pesawat tempur hilir-mudik sedang bermanuver di atas kepala kami benar-benar pemandangan tak terlupakan. Baru kali ini saya menyaksikan pesona alam sekaligus takjub bahwa betapa masih lestarinya alam di tanah Halmahera ini.ā€

 

Petualangan Menjelajah TN Aketajawe Lolobata

Berbasah-basah di setiap langkah menjelajah Rimba Aketajawe. Ayu berada di depan disusul Sukardi, Matteo, dan salah seorang staf polhut TN Aketajawe yang sayangnya saya lupa namanya.

Continue reading

Quote

Pengalaman Tinggal di Kalimantan Tengah – Melestarikan Budaya Melepas Alas Kaki, Mengapa Tidak?

ā€œCoba ditulis, deh Mas. Menarik sekali itu,ā€ begitu kata Ade, saat kami bertiga dengan Ananta, bocah berusia dua tahun putrinya Ade, berkunjung ke Museum Topeng & Wayang Setiadarma di Desa Mas, Ubud. Kalimat Ade itu muncul ketika saya menceritakan bagaimana melepaskan alas kaki menjadi budaya yang menarik perhatian saya saat dulu tinggal di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Tidak hanya di Pangkalan Bun, tetapi di banyak tempat di Kalimantan Tengah sepanjang pengalaman bertugas saya.

Soal melepas alas kaki ini muncul saat kami memasuki ruang pameran dan Ade yang pernah membantu bertugas di sini sebelumnya, melepas alas kakinya dan meletakkannya di luar pintu ruang pameran, bangunan berbentuk rumah joglo berusia seratus tahun lebih itu. Saya pun ikut melepas alas kaki saya, begitu juga Ananta yang dibantu oleh Ade waktu itu. Sambil Ade menjelaskan kumpulan wayang purwa yang berjajar mulai dari sisi kiri dan hingga kanan, saya sempat berpikir soal budaya melepas alas kaki saat memasuki sebuah bangunan. Terlebih setelah itu saya sempat memperhatikan beberapa pengunjung wisatawan asing, ada yang datang berdua atau berombongan tanpa disandingi oleh pemandu wisata, ada beberapa yang diikuti oleh pemandu dari museum ataupun pemandu mereka sendiri, dan reaksinya saat mereka melihat sandal dan sepatu kami berjajar rapi di luar pintu.

Pelatihan di Perpus SMKN 1 Pangkalan Bun, DSW Blog

Dalam banyak kegiatan, kami sering melepaskan alas kaki. Seperti saat kegiatan pelatihan di Ruang Perpustakaan SMKN 1 Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah.

 

Beberapa saya amati, begitu melihat jajaran alas kaki di luar pintu itu, ada yang berhenti sebentar dan terdiam melihat ke alas-alas kaki kami. Namun, beberapa detik kemudian, saat kawan-kawan seperjalanan mereka datang dan berdiskusi sebentar, mereka masuk tanpa ikut melepas alas kaki mereka. Beberapa yang lain, datang bersama kawan dan pemandu wisata lokal, karena kawan dan pemandu wisata lokalnya tidak menaruh perhatian terkait budaya melepas alas kaki ini, mereka pun langsung mengikuti masuk dan berjalan di lantai ruang pameran yang terbuat dari keramik berwarna terang dengan permukaan halus dan berkilau saat ditimpa cahaya lampu yang otomatis menyala saat pengunjung memasuki setiap ruang pameran. Ya, saya sadar, aturan melepas alas kaki ini memang tak nampak di sini.

ā€œCoba bayangin deh, De, dengan kondisi ruang pamerannya yang begini bagus dan jenis lantainya yang mengkilap begini, saat hujan dan ada pengunjung, lantai akan kotor dan terlihat sekali jejak-jejak alas kaki pengunjungnya bila mereka tak melepas alas kakinya,ā€ saya memberikan satu alasan mengapa budaya melepaskan alas kaki perlu diangkat kembali dan dilestarikan. ā€œSelain itu, sebenarnya akan sangat mudah menjaga kebersihan lantainya kalau setiap pengunjung bersedia melepaskan alas kakinya,ā€ saya menambahkan alasan lain lagi. ā€œAh, aku jadi teringat pengalaman tugas di Pangkalan Bun selama tiga tahun yang lalu, ya De. Budaya melepas alas kaki di sana itu kuat sekali. Gak cuma berlaku saat masuk ke dalam rumah, banyak tempat ternyata membudayakan dan membiasakan hal ini. Bahkan juga kutemui saat masuk ke warung, toko, dan museum pun begitu. Makanya, melihat itu, aku juga sejak awal membudayakan melepas alas kaki di kantorku yang dulu,ā€ saya bercerita sambil kami keluar dari ruang pameran dan memakai alas kaki kami kembali untuk menuju rumah-rumah joglo yang menjadi ruang pameran yang lain.

Rumah Kayu Khas Pangkalan Bun, Kumpai Batu, DSW Blog

Foto sebuah rumah di wilayah Kumpai Batu Atas, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Meskipun berlantai kayu, masyarakat di sana terbudayakan melepaskan alas kaki saat memasuki rumah.

Budaya melepaskan alas kaki sebelum memasuki ruangan, terutama rumah, rasanya memang bukan saja milik masyarakat Kalimantan Tengah. Melihat berbagai macam ukuran, bentuk, dan warna alas kaki berserakan di depan pintu rumah memang hal yang biasa bagi sebagian besar dari kita. Tetapi saat budaya ini diterapkan juga di sebuah toko di Jalan Antasari, kawasan perdagangan padat di Pangkalan Bun, saya mengingat betul bahwa saat itu saya membeli mantel hujan, saya awalnya sungguh terheran-heran. Itu saya alami kala minggu-minggu awal saya tinggal di Pangkalan Bun. Tetapi kemudian menjadi paham dan malah membuat saya kagum. Terlebih, setelah saya memasuki toko-toko yang lain di sana, kemudian makan siang di sebuah warung Soto Banjar yang juga menyajikan nila goreng nikmat di Jalan Ahmad Yani, depan persis Bank Mandiri, yang menjadi favorit kawan-kawan di kantor dan saya, juga saat memasuki ruang pameran benda-benda bersejarah di Istana Kuning, melepas alas kaki adalah hal biasa bagi siapa saja. Kami semua sangat menghormatinya. Meskipun pemilik toko mempersilakan kami tetap memakai sepatu, saya sebagai pelanggan menjadi sangat tahu diri. Melepas alas kaki saya adalah sebagai bentuk penghormatan kepada si pemilik toko. Selain itu, dengan alas lantai karpet ataupun terpal bermotif yang terlihat bersih itu, saya pun jadi sungkan dan tak sampai hati untuk tetap memakai alas kaki saya dan mengotori alas lantai tersebut. Apalagi bila saya tahu kalau alas kaki saya sudah merambah kemana-mana hari itu.

Jadi, saat ditanya pengalaman unik apa saat saya tinggal di Pangkalan Bun, tentu saja salah satunya adalah soal melepas alas kaki ini. ā€œIya, Mas, bagus itu untuk dituliskan,ā€ Ade kembali mengingatkan saat saya mengakhiri cerita saya. ā€œSupaya kita semua menyadari indahnya budaya ini dan mempunyai kepedulian,ā€ Ade menambahkan sambil berpamitan sebentar untuk mengantarkan Ananta ke toilet yang tak jauh letaknya dari rumah joglo tempat kami melihat koleksi wayang beber dan Kamasan.

Itulah mengapa, saat di Museum Topeng dan Wayang Setiadarma itu, giliran saya yang jadi begitu heran saat beberapa kali melihat pengunjung tak peduli dan tetap memakai alas kaki mereka saat memasuki rumah-rumah joglo ruang pameran berlantai bersih mengkilat itu. Meskipun kami dengan sengaja telah memberikan contoh dengan melepas alas-alas kaki kami dan meletakkannya dengan rapi di bibir pintu masuk. Padahal tak ada salahnya melepas sebentar alas kaki. Tanda menghormati. Karena itulah salah satu budaya kita yang unik dan tetap perlu dilestarikan. Saya pun baru menyadarinya saat saya bertugas di Pangkalan Bun dan ingin ikut melestarikannya. Ah, benar-benar salah satu pengalaman yang paling berkesan dan yang selalu membuat saya ingin kembali ke Pangkalan Bun. Lagi. Satu hari nanti.

(Ditulis untuk diikutsertakan dalam lomba penulisan tentang “Keunikan Kalimantan Tengah” oleh Visit Tanjung Puting Tourism – 2017)

Quote

Dwi, Silvernya Luntur Gak Sih?

Kira-kira ada yang pernah punya pertanyaan seperti itu? Saya terus terang pernah ditanya oleh seorang teman saat ingin tahu tentang produk perhiasan DSW Jewellery Bali.

Meski saya paham apa maksud teman saya itu dan tak ada yang salah dengan pertanyaan itu, namun pertanyaannya saya jawab dengan bercanda, “Memangnya kain, bisa luntur?” Hehe…

Silver Earring, DWJ with Asymetric Silver Bead and Round Faceted Amethyst, DSW Jewellery Bali (1)

“I Steal the Kryptonite for Your Earrings!” | Silver Earrings with Round Faceted Amethyst

Kira-kira benar gak sih kalau perak bisa luntur? Lalu apa yang dimaksud oleh teman saya soal “perak luntur” itu? Saya mencoba menjelaskan, ya.

Perak adalah nama salah satu jenis logam mulia (noble metal), selain emas yang juga kita kenal dipakai dalam dunia perhiasan serta juga beberapa jenis logam mulia yang lain (ada ruthenium, rhodium, palladium, osmium, iridium, platinum). Dinamakan logam mulia dikarenakan jenis logam ini tahan terhadap korosi dan oksidasi di udara lembab. Penjelasan cukup gamblang dapat diperoleh sendiri dan dilanjutkan di tautan Wikipedia berikut: https://en.m.wikipedia.org/wiki/Noble_metal

Perak, oleh karena mempunyai dua sifat tersebut, maka digolongkan juga sebagai logam mulia. Artinya, tidaklah tepat, bila perak asli atau bahkan perak sterling atau perak 925 dapat “luntur”. Namun, soal tahan terhadap oksidasi, dalam kondisi tertentu, memang perak dapat mengalami oksidasi. Ciri yang paling jelas adalah bahwa lapisan atas perak menjadi menghitam (Bahasa Inggris: tarnish). Sentuhan cairan yang bersifat asam, misalnya keringat beberapa orang tertentu, semprotan alkohol atau parfum, paparan kapur barus saat perhiasan perak disimpan di lemari, adalah beberapa situasi yang dapat membuat perak mengalami oksidasi. Namun, semua hal di atas tersebut tidak menjadikan perak mengalami luntur atau unsur peraknya menghilang karena bila memang bahan dasar logamnya adalah perak, bukan logam lain (biasanya besi atau alpaka) yang dilapisi (plating) perak, meskipun mengalami oksidasi, unsur logamnya tetap perak.

Nah, bila mempunyai perhiasan perak dan terlihat mulai mengalami oksidasi, janganlah khawatir. Berita baiknya, bercak oksidasi ini dapat dengan mudah dibersihkan, kok. Baik dengan cairan maupun alat pembersih khusus yang telah banyak dijual bebas di toko perhiasan. Setelah dibersihkan, sifat asli perak yang berwarna putih mengkilat akan kembali lagi.

ā€œAh, yang benar? Saya pernah tuh punya perhiasan perak. Katanya sih asli. Tapi setelah saya pakai beberapa kali, warnanya jadi kusam dan jelek. Mana tidak bisa dibersihkan lagi…ā€ Mungkin ada yang punya pengalaman seperti ini dan membantah penjelasan di atas? Bisa saja. Kira-kira ada yang tahu tidak mengapa hal tersebut bisa terjadi? Yuk, berbagi di sini?

Batu Bulan, Desember 2017

Quote

To Adore! Merambah Sepenggal Pesona Tidore

Pernahkah mendengar nama Pulau Tidore sebelumnya? Terus terang, saya pun baru akhir-akhir ini benar-benar mengenalnya. Bahkan selama ini saya tak begitu menyadari bila bersama Pulau Maitara, gambarnya menghiasi mata uang kertas 1.000 Rupiah di balik gambar Kapitan Pattimura itu. Ikutan penasaran, kan? Saya membela diri sendiri, mungkin karena memang mata uang itu jarang tampak bersih dan lebih sering kita lipat dan uwel-uwel sehingga tak terlalu menaruh perhatian. Namun, melalui mata uang inilah saya akan selalu mengenang pengalaman singkat, padat, tinggal lima hari di pulau yang berada dalam kawasan Provinsi Maluku Utara ini.

Continue reading

Quote

Seru Bertemu Sang Naga Komodo

Naik kapal motor membelah biru-pekatnya lautan sepanjang perjalanan, menyusuri pulau-pulau berwarna laksana jamrud berlatar belakang langit biru cerah dihiasi awan bergulung-gulung serupa kapas, menikmati semburat warna angkasa saat matahari terbenam perlahan di kejauhan, dikejutkan teriakan awak kapal yang melihat lompatan salto kawanan lumba-lumba yang tiba-tiba mampir mendekati kapal, hingga mengingat rasa takjub saat saya akhirnya melihat dari dekat wujud si naga komodo pertama kali. Ah, jalan-jalan ke Taman Nasional Komodo memang selalu seru. Karena selalu meninggalkan rindu. Rindu hembusan angin berpadu aroma wangi segar cipratan ombaknya yang masih saya ingat hingga sekarang.

Continue reading

Quote

Hidup Sehat Yuk? – Kalau Beli Jagung, Jangan Buang Rambutnya

Kalau Beli Jagung, Jangan Buang Rambutnya?

Untuk apa, sih? Serius mau tahu?

Saya terus terang baru tahu beberapa tahun terakhir kalau rambut jagung ternyata berkhasiat obat. Setiap bikin dadar jagung atau sayur bening, dulu, hampir dipastikan “corn silk” ini, istilah dalam Bahasa Inggrisnya, selalu saya buang. Zuuttt…ke tempat sampah.

Continue reading

Quote

Pernah Punya Pengalaman ā€œForagingā€ atau “Meramban”?

Hari ini saya bercakap-cakap dengan seorang kawan berasal dari Malaysia via Facebook saat dia memuat foto buah elderberry yang saya baru tahu seperti apa rupanya. Dalam percakapan itu, dia mendapatkan buah eldeberry itu saat dia melakukan ā€œforagingā€, demikian kawan saya ini memperkenalkan istilah tersebut, di sebuah hutan di Inggris.

Continue reading

Quote

Berkebun Yuk – Nikmatnya Membuat Cincau Hijau dari Kebun Sendiri

Daluman, begitu cincau hijauĀ atau cincau rambat disebut dalam Bahasa Bali.Ā Sajian daluman biasanya ditambahkan dengan santan dan gula merahĀ cair. Tambah nikmat dengan es batuĀ tentu saja. Selain itu, ada juga yang suka menambahkan butiran mutiara berwarna merah yang membuat sajian daluman – biasanya untuk penutup makan – tampak lebih mengundang selera sekaligus mengenyangkan.
Continue reading